Sabtu, 28 Juli 2012

FOREVER YOU


                                                                    By : Meyrist Situngkir

Aku berjalan mengelilingi mall seharian, ditemani Virna. Sahabat yang juga teman sekantorku yang kalem, hampir sama dengan aku, bedanya aku lebih meledak ledak kalau sudah menyangkut urusan emosional.
“Ada yang cocok, Mey?”, terlihat Virna mulai bosan tapi tidak berani menunjukkan ekspresinya.
Takut aku marah mungkin..hehehe
Tapi aku tidak mungkin punya waktu untuk marah saat ini, mungkin hanya punya waktu untuk pernikahanku sendiri. Pernikahan yang sudah diimpikan oleh seseorang…seseorang yang sudah dua tahun mencoba mencuri perhatianku.
Diam diam aku mengusap airmataku, terlintas wajah seseorang…
Lelaki bersahaja itu…
Airmataku menggenang “Andai saja kau mau bertahan waktu itu..aku mungkin tidak akan mencari baju pengantin untuk pernikahanku dengan yang lain saat ini..”
“Wajahmu tegang say, ada apa..?” Virna menyelidiki perubahan wajahku. Aku menggenggam tangannya seolah minta dukungan.
“Ga papa say, biasa aja..mungkin aku agak tegang menuju hari pernikahanku..”, tentu saja aku bohong…ini tentang perasaan, tentang Dio, coba kalau dia mau bertahan sedikit saja untuk tidak melepaskan aku dengan lelaki lain.
Laki laki itu kukenal di Jogja, tempat aku dulu pernah tinggal. Kota eksotis itu meninggalkan kenangan indah yang tidak sedikit.
Lelaki idealis, mungkin diantara pria berseragam dinas coklat, sosok seidealis dia tergolong langka. Karena itulah aku jatuh cinta padanya..
Aku bahkan jatuh cinta pada pertemuan pertama….
Ketika itu di Malioboro, aku menangkap wajah seseorang sedang mengamati souvenir, sebenarnya tidak ada yang menarik sih awalnya, tapi hatiku seperti ditarik tarik untuk melihat kearah sosok itu terus. Merasa diperhatikan dia menoleh, tersenyum meski agak canggung. Aku menemukan ada rasa yang menyelusup dihatiku…adeeeem.
Diam diam aku memonitor dia dan pada saat yang tepat, aku mengeluarkan hpku, secepat kilat..”I got it”, aku dapat photonya dari samping, terlihat begitu “laki laki”, senyumnya tertahan tapi kelihatan tulus.
“Sudah punya pacar belum yah?”, bisik hatiku mendadak centil.
Di mobil aku senyum senyum sendiri, melihat lihat photonya. Entah mengapa rasanya dia tidak asing, aneh…
Hpku berbunyi, Marthin, cowok itu lagi….aku males menghadapinya. Dulu  aku mengenalnya di dunia maya, selanjutnya bertemu darat di Jogjakarta. Lelaki papua yang bekerja di salah satu pertambangan raksasa milik Amerika Serikat. Sudah hampir setahun lebih mengejarku….
“Iya?”
“Mey ada waktu kita boleh ketemu?”, aku menghela nafas panjang.
Sebenarnya dulu aku sempat hampir menerima pernyataan cintanya, bukan karena aku punya perasaan yang sama namun lebih menghargai kegigihannya, hingga tanpa sengaja aku tahu dia sudah punya kekasih.
Kekasihnya yang kemudian menjadi sahabat baikku. Aku memilih tidak untuk bersamanya, bagaimanapun menyakiti hati orang lain bukanlah hal yang menyenangkan samasekali.
Waktu itu aku sempat bertanya…
“Kamu sudah punya pacar?”, Marthin hanya tersenyum kalem seraya menggeleng. “Aku tidak punya pacar, darimana kamu bisa tebak?”
“Aku tahu pokoknya, Fani itu siapa?”
Wajah Marthin terlihat pucat, dan bagiku sesungguhnya itu tak pernah jadi masalah. Aku toh tak serius menyukainya…
“Kamu dengan Fani saja…”dalam hatiku sedikit lega, setidaknya aku bisa keluar dari komitmenku dengannya tanpa harus menyakiti siapapun, aku meninggalkannya dan Marthin mengejarku….
Dan hingga kini terus mengejarku dengan gigih….
Sampai di kosan, seusai mengguyur tubuhku dengan sabun dan segar, aku iseng iseng melihat photo di Hpku..makin lama dilihat kok makin manis…aku senyum senyum sendiri.
“Coba tadi aku punya keberanian minta nomor Hpnya..”
Melamun….entah mengapa, meski hanya sekilas namun tak bisa lekang dari wajahku…sosok itu mampu membuatku tersenyum senyum sendiri..benar benar dah..
“Senyumnya beda..!” kata Emma teman sebelah kamarku.
“Idih apaan, biasa aja…”, aku mengelak
“Tuh senyumnya, kayak orang lagi jatuh cinta…”, wajahku memerah
“Emang lagi jatuh cinta..?”, Emma penasaran..”Duh anak kecil, mau uu aja dehh…”, godaku tak urung membuat Emma makin penasaran.
“Emang keliatan yah?”, “Dodoll..bukan keliatan lagi, keliatan banget malah…senyum senyum sendiri persis orang lagi kasmaran…”.
Aku hanya terdiam, sambil mengusap usap wajah sosok itu di Hp aku…

Danau toba memang eksotis, sayang tempat sebagus itu sudah seperti lokasi mati, daerahnya cantik dengan pemandangan yang sejuk setiap harinya, namun sepi jamahan tangan pemerintah daerah untuk memikat para wisatawan datang berkunjung.
Aku malah miris mendengar khabar dari seorang temanku, seorang pengacara dan juga produser film yang mencoba mengangkat kembali pariwisata daerah tempat dimana dia berada untuk dijadikan promosi pariwisata daerah untuk memancing kehadiran wisatawan mancanegara, anehnya dia malah dihujat habis habisan karena projectnya itu.
Apa coba…????
Aku lagi sibuk browsing browsing photo photo untuk artikel wisata daerah, wajahku tertumbuk pada satu wajah di layar google..dia kan?...dia yang kemarin ketemu di Malioboro, tapi kenapa photonya ada di profil wisata daerah?, oh dia punya blog ternyata…
Iseng aku membuka blognya, tulisannya lumayan menarik, tentang Bung Karno, tentang wisata perjalanannya, tentang pekerjaannya…ternyata dia seorang polisi, bertugas di Poso…ngapain yah dia ke Jogja?. Pucuk dicinta ulam tiba…aku langsung search namanya di fesbuk…ketemuuu…rasanya aku ingin berteriak hore yang panjang…jodoh memang nggak kemana heheheh..
Tidak sampai sehari sudah diconfirm, ternyata dia memang mania fesbuk juga. Aku langsung inbox dan mengirimkan photo yang kujepret diam diam via handponeku, dia sumringah…
“Astaga…!”
“Sorry yah lancang…abis wajah kamu eksotis..”, dia sedikit geer mendengar kalimatku. “Yang benar, masa sih?”, lalu mengalirlah pembicaraan akrab diantara kami…duuuuh senangnya..
“Besok jalan bareng yuk..!” tawaran yang tidak mungkin kutolak.

Awal yang manis hingga kepulangannya ke Poso, Dio masih setia meneleponku dan memberiku perhatian, kadang kadang memberi support kalau lagi down..setiap hari dia selalu meneleponku.
Aku semakin yakin aku jatuh cinta pada lelaki itu, tapi Dio?, entahlah…dia masih terlihat misterius, meskipun setiap hari dia meneleponku dia tak pernah memberi isyarat bahwa hubungan kami lebih dari sekedar teman, dan hingga menjelang bulan ke sepuluh setelah pertemuanku dengannya di Malioboro.
Pernah aku coba menanyakannya, Dio hanya menjawab bahwa dia trauma karena dulu pernah dua kali gagal membina hubungan jarak jauh, aku sedikit kecewa dan merasa sakit pernah coba berharap, jadi aku ini hanya teman biasa saja baginya. Jadi aku saja yang berharap…
Tanpa sengaja tanganku menggores kalimat di diary kecilku, aku masih setia menulis diary meski zaman sekarang orang sudah lebih suka menggunakan media yang lebih modern seperti blog..
“Now I know…
You Never want me at all
And I realize, im just your friend like anybody else…”
Jadi aku hanya teman biasa….
Marthin datang lagi untuk yang kesekian kalinya, dia bilang masih sangat berharap banyak dengan aku. Aku mulai bimbang, sementara desakan dari keluarga juga untuk menikah sudah ada…aku putuskan konsultasi dengan keluarga, keluargaku malah memberi dukungan yang penuh…
Aku merasa terpojok, tak mampu menolak..Marthin sesungguhnya laki laki yang baik, dia orang yang tulus yang pernah kukenal, tak ada alas an untuk tidak menolak kecuali karena perasaanku sudah tertambat pada lelaki berseragam coklat itu.
Marthin juga sudah meminta restu pada keluargaku, mereka menyambut baik.
Dio meneleponku setibanya aku dirumah sepulang kerja “, Gimana khabarmu?’, “Baik..”suaraku terlihat lesu. Aku baru saja pulang setelah makan malam dengan Marthin setelah jam kantor usai.
“Habis dari mana?” jam sudah menunjukkan pukul 22.00 wib, “Tadi abis jalan sama teman dari Papua, dia lagi cuti liburan disini..”, “Oh, dia kerja dimana?”, “Freeport..”, Aku menghela nafas panjang..
Diam sejenak…”Dia mau ngelamar aku, mau ngajak aku nikah…”, “Baguslah…”, nada suaranya datar…
Aku hampir menangis, meneteskan airmata..jadi benar sesungguhnya Dio tidak punya perasaan sedikitpun ke aku?, jadi apa arti perhatiannya selama ini?, aku mulai marah pada diriku sendiri, marah karena mengizinkannya masuk kedalam ruang hatiku, membiarkanku menjaring asa yang ternyata hanya aku sendiri yang punya mimpi itu…jadi…selama ini…aku seperti pungguk merindukan bulan..ingin kusudahi teleponnya, tapi disisi lain aku takut dia tersinggung, aku masih takut kehilangan dia, meskipun airmataku sudah menetes.
“Aku sayang sama kamu Dio, mengapa tak coba mencegahku..”bathinku pelan.
“Kapan rencananya?”, suaranya terdengar datar…
“Belum tau, soalnya yang setuju masih ortu, aku belum mengiyakan..”,
“Kenapa?”,
“Aku ngga punya perasaan apapun padanya, meskipun dia menjanjikan Toyota Jazz sebagai hadiah pernikahan, aku ngga tertarik sedikitpun..”. suaraku makin bergetar
“Kenapa, dia orangnya baik kan?”, suaranya terdengar polos
“Karena ada kamu Dio, karena dihatiku sudah ada kamu, mau dikasih 10 toyota jazz pun aku tidak akan tergiur..cobalah cegah aku..”, dalam hatiku sedih. Dia jelas tidak akan pernah mengerti perasaanku, toh dia tidak mencintai aku samasekali..
“Aku jatuh cinta dan menikah itu berdasarkan pilihanku sendiri, bukan karena materi atau apapun, aku tidak mau menikah karena sudah tidak punya pilihan lain lagi, aku mau menikah karena memang itu pilihanku..” nada suaraku sedikit tegas.
Dio hanya ber oooh panjang sebelum akhirnya dia berkata “, Orang dari papua baik baik kok, hampir sama kayak kita orang batak, aku dukunglah, dia pasti bisa menjadi pasanganmu yang baik..”.
Dia tidak tahu betapa aku terluka mendengar kalimat itu..

Dalam keadaan patah hati, yang (untungnya) Dio tidak sampai tahu karena aku masih bisa bersikap wajar padanya, aku mengambil keputusan berani. Aku berkata “Iya” pada Marthin, aku menerima lamarannya. Marthin terlihat sangat bahagia, meski rasa tertekan itu tidak bisa ditutupi dari raut wajahku…
Di kantor aku sering melamun, teman teman sering meledek rencana pernikahanku dengan Marthin, apalagi Redaktur Eksekutif dan Manager Artistik, mereka selalu kompak dengan logat papua yang khas menghiburku..meledekku..
Dio masih rajin menelepon, seperti biasa setiap hari…bahkan lebih sering dibandingkan komunikasiku dengan Marthin.
Dan rasa rinduku masih sama….

Sore minggu di apartemen Marthin..
Dia tiduran di kamarnya, sementara aku menonton tv di depan. Pikiranku melayang kemana mana, teringat Dio, teringat kebersamaan selama ini…
Marthin menatapku sekilas “, Kamu ada masalah?, hari ini selalu diam..”, aku berusaha tersenyum, terpaksa.
“Kamu ada masalah bilang, aku akan bantu kamu untuk masalah apapun itu..kita akan menikah..”, wajahku berusaha tersenyum.
Tiba tiba hp Marthin bunyi sekilas aku melihat ada nama “Tersayang”, Jadi…???
Aku yakin itu bukanlah Fani, mungkin ada orang lain lagi…aku pura pura tidak melihat…Marthin masih terlelap.
Aku menghembuskan nafas panjang, “Duh Gusti, salahkah aku dengan keputusan ini?”,  jadi dia menjanjikan pernikahan mungkin bukan hanya kepadaku saja, sekalipun selama dua tahun kemarin ini dia terlihat serius.
Cukuplah sudah….
Aku meninggalkan apartemennya tanpa pamit lagi…satu satunya alasanku menerima keinginannya menikah denganku karena aku menghargai kegigihannya, sekarang aku sadar tak ada yang perlu diteruskan.

Aku sudah melupakan keinginanku untuk menikah…Mathin juga tidak menghubungiku, dia pasti sudah tahu kalau aku sudah cukup mengetahui semuanya, dia cukup kenal prinsip dan keras kepalaku. Kami sedang meeting ketika nada dering khas itu menelponku “Temani masa tua”nya the potters, My Wise calling, aku buat nama itu di Hpku, karena Wise itu artinya Bijak..dan bagiku Dio adalah laki laki pilihanku yang bijak..rindu…rindu…setiap hari aku merindukan suara itu…
“Udah ngga galau lagi ya mbak?”, goda Bimo, sang manager artistic
“Kenapa..?”
“Kalau Bapa Martinus yang calling ada yang galau, kalau bapa yang di Poso calling ada yang senang…”, goda pria berkacamata itu dengan nada papua yang khas. Aku mencubit lengannya..
Aku baca pesan masuk “, Hasian..”, aku terbelalak.. Dio..?, sejak kapan seromantis ini?. Aku mencoba menata hatiku, berharap ini bukan sms nyasar ke hpku.
Membalas “Eh, kamu salah kirim sms yah?”
“Tidak, sms itu buat kamu..sejak hari ini aku akan terus memanggilmu hasian..”, jantungku berdegup kencang.
“Maksudnya?”, aku masih tak percaya
“Forever you nona Mey Situngkir, aku cinta padamu..”
“Hahhh..”
“Hah heh..napa kaget?” Dio kalem
“Tumben romantis?”, wajahku, andai dia bisa melihatnya. Kalau dia dihadapanku, mungkin aku sudah memeluknya saat ini.
“Kok tumben?, ya udah lain kali kalau nggak suka, aku ngga akan bilang lagi…”, nadanya masih sedatar biasanya.
“Jangan dong..”, manjaku mulai kambuh..
“Jangan apanya…”
“Mauuuu..dibilang sayang setiap hari”. Rasanya aku ingin teriak bahagia. “Forever you too Dio, never change on you..”. meski hanya dalam hati tapi aku tahu sekarang, hati kami sesungguhnya tak pernah saling menjauh..

Buat : Seseorang yang sedang bertugas di Poso…