By : Meyrist Situngkir
Aku berjalan mengelilingi mall
seharian, ditemani Virna. Sahabat yang juga teman sekantorku yang kalem, hampir
sama dengan aku, bedanya aku lebih meledak ledak kalau sudah menyangkut urusan
emosional.
“Ada yang cocok, Mey?”, terlihat
Virna mulai bosan tapi tidak berani menunjukkan ekspresinya.
Takut aku marah mungkin..hehehe
Tapi aku tidak mungkin punya
waktu untuk marah saat ini, mungkin hanya punya waktu untuk pernikahanku
sendiri. Pernikahan yang sudah diimpikan oleh seseorang…seseorang yang sudah
dua tahun mencoba mencuri perhatianku.
Diam diam aku mengusap airmataku,
terlintas wajah seseorang…
Lelaki bersahaja itu…
Airmataku menggenang “Andai saja
kau mau bertahan waktu itu..aku mungkin tidak akan mencari baju pengantin untuk
pernikahanku dengan yang lain saat ini..”
“Wajahmu tegang say, ada apa..?”
Virna menyelidiki perubahan wajahku. Aku menggenggam tangannya seolah minta
dukungan.
“Ga papa say, biasa aja..mungkin
aku agak tegang menuju hari pernikahanku..”, tentu saja aku bohong…ini tentang
perasaan, tentang Dio, coba kalau dia mau bertahan sedikit saja untuk tidak
melepaskan aku dengan lelaki lain.
Laki laki itu kukenal di Jogja,
tempat aku dulu pernah tinggal. Kota eksotis itu meninggalkan kenangan indah
yang tidak sedikit.
Lelaki idealis, mungkin diantara
pria berseragam dinas coklat, sosok seidealis dia tergolong langka. Karena itulah
aku jatuh cinta padanya..
Aku bahkan jatuh cinta pada
pertemuan pertama….
Ketika itu di Malioboro, aku
menangkap wajah seseorang sedang mengamati souvenir, sebenarnya tidak ada yang
menarik sih awalnya, tapi hatiku seperti ditarik tarik untuk melihat kearah
sosok itu terus. Merasa diperhatikan dia menoleh, tersenyum meski agak
canggung. Aku menemukan ada rasa yang menyelusup dihatiku…adeeeem.
Diam diam aku memonitor dia dan
pada saat yang tepat, aku mengeluarkan hpku, secepat kilat..”I got it”, aku
dapat photonya dari samping, terlihat begitu “laki laki”, senyumnya tertahan
tapi kelihatan tulus.
“Sudah punya pacar belum yah?”,
bisik hatiku mendadak centil.
Di mobil aku senyum senyum
sendiri, melihat lihat photonya. Entah mengapa rasanya dia tidak asing, aneh…
Hpku berbunyi, Marthin, cowok itu
lagi….aku males menghadapinya. Dulu aku
mengenalnya di dunia maya, selanjutnya bertemu darat di Jogjakarta. Lelaki
papua yang bekerja di salah satu pertambangan raksasa milik Amerika Serikat.
Sudah hampir setahun lebih mengejarku….
“Iya?”
“Mey ada waktu kita boleh ketemu?”,
aku menghela nafas panjang.
Sebenarnya dulu aku sempat hampir
menerima pernyataan cintanya, bukan karena aku punya perasaan yang sama namun
lebih menghargai kegigihannya, hingga tanpa sengaja aku tahu dia sudah punya
kekasih.
Kekasihnya yang kemudian menjadi
sahabat baikku. Aku memilih tidak untuk bersamanya, bagaimanapun menyakiti hati
orang lain bukanlah hal yang menyenangkan samasekali.
Waktu itu aku sempat bertanya…
“Kamu sudah punya pacar?”,
Marthin hanya tersenyum kalem seraya menggeleng. “Aku tidak punya pacar,
darimana kamu bisa tebak?”
“Aku tahu pokoknya, Fani itu
siapa?”
Wajah Marthin terlihat pucat, dan
bagiku sesungguhnya itu tak pernah jadi masalah. Aku toh tak serius menyukainya…
“Kamu dengan Fani saja…”dalam
hatiku sedikit lega, setidaknya aku bisa keluar dari komitmenku dengannya tanpa
harus menyakiti siapapun, aku meninggalkannya dan Marthin mengejarku….
Dan hingga kini terus mengejarku
dengan gigih….
Sampai di kosan, seusai mengguyur
tubuhku dengan sabun dan segar, aku iseng iseng melihat photo di Hpku..makin
lama dilihat kok makin manis…aku senyum senyum sendiri.
“Coba tadi aku punya keberanian
minta nomor Hpnya..”
Melamun….entah mengapa, meski
hanya sekilas namun tak bisa lekang dari wajahku…sosok itu mampu membuatku
tersenyum senyum sendiri..benar benar dah..
“Senyumnya beda..!” kata Emma
teman sebelah kamarku.
“Idih apaan, biasa aja…”, aku mengelak
“Tuh senyumnya, kayak orang lagi
jatuh cinta…”, wajahku memerah
“Emang lagi jatuh cinta..?”, Emma
penasaran..”Duh anak kecil, mau uu aja dehh…”, godaku tak urung membuat Emma
makin penasaran.
“Emang keliatan yah?”, “Dodoll..bukan
keliatan lagi, keliatan banget malah…senyum senyum sendiri persis orang lagi
kasmaran…”.
Aku hanya terdiam, sambil
mengusap usap wajah sosok itu di Hp aku…
Danau toba memang eksotis, sayang
tempat sebagus itu sudah seperti lokasi mati, daerahnya cantik dengan
pemandangan yang sejuk setiap harinya, namun sepi jamahan tangan pemerintah
daerah untuk memikat para wisatawan datang berkunjung.
Aku malah miris mendengar khabar
dari seorang temanku, seorang pengacara dan juga produser film yang mencoba
mengangkat kembali pariwisata daerah tempat dimana dia berada untuk dijadikan
promosi pariwisata daerah untuk memancing kehadiran wisatawan mancanegara,
anehnya dia malah dihujat habis habisan karena projectnya itu.
Apa coba…????
Aku lagi sibuk browsing browsing
photo photo untuk artikel wisata daerah, wajahku tertumbuk pada satu wajah di
layar google..dia kan?...dia yang kemarin ketemu di Malioboro, tapi kenapa
photonya ada di profil wisata daerah?, oh dia punya blog ternyata…
Iseng aku membuka blognya,
tulisannya lumayan menarik, tentang Bung Karno, tentang wisata perjalanannya,
tentang pekerjaannya…ternyata dia seorang polisi, bertugas di Poso…ngapain yah
dia ke Jogja?. Pucuk dicinta ulam tiba…aku langsung search namanya di fesbuk…ketemuuu…rasanya
aku ingin berteriak hore yang panjang…jodoh memang nggak kemana heheheh..
Tidak sampai sehari sudah
diconfirm, ternyata dia memang mania fesbuk juga. Aku langsung inbox dan
mengirimkan photo yang kujepret diam diam via handponeku, dia sumringah…
“Astaga…!”
“Sorry yah lancang…abis wajah
kamu eksotis..”, dia sedikit geer mendengar kalimatku. “Yang benar, masa sih?”,
lalu mengalirlah pembicaraan akrab diantara kami…duuuuh senangnya..
“Besok jalan bareng yuk..!”
tawaran yang tidak mungkin kutolak.
Awal yang manis hingga
kepulangannya ke Poso, Dio masih setia meneleponku dan memberiku perhatian,
kadang kadang memberi support kalau lagi down..setiap hari dia selalu
meneleponku.
Aku semakin yakin aku jatuh cinta
pada lelaki itu, tapi Dio?, entahlah…dia masih terlihat misterius, meskipun
setiap hari dia meneleponku dia tak pernah memberi isyarat bahwa hubungan kami
lebih dari sekedar teman, dan hingga menjelang bulan ke sepuluh setelah
pertemuanku dengannya di Malioboro.
Pernah aku coba menanyakannya,
Dio hanya menjawab bahwa dia trauma karena dulu pernah dua kali gagal membina
hubungan jarak jauh, aku sedikit kecewa dan merasa sakit pernah coba berharap,
jadi aku ini hanya teman biasa saja baginya. Jadi aku saja yang berharap…
Tanpa sengaja tanganku menggores
kalimat di diary kecilku, aku masih setia menulis diary meski zaman sekarang
orang sudah lebih suka menggunakan media yang lebih modern seperti blog..
“Now I know…
You Never want me at all
And I realize, im just your
friend like anybody else…”
Jadi aku hanya teman biasa….
Marthin datang lagi untuk yang
kesekian kalinya, dia bilang masih sangat berharap banyak dengan aku. Aku mulai
bimbang, sementara desakan dari keluarga juga untuk menikah sudah ada…aku
putuskan konsultasi dengan keluarga, keluargaku malah memberi dukungan yang
penuh…
Aku merasa terpojok, tak mampu
menolak..Marthin sesungguhnya laki laki yang baik, dia orang yang tulus yang
pernah kukenal, tak ada alas an untuk tidak menolak kecuali karena perasaanku
sudah tertambat pada lelaki berseragam coklat itu.
Marthin juga sudah meminta restu
pada keluargaku, mereka menyambut baik.
Dio meneleponku setibanya aku
dirumah sepulang kerja “, Gimana khabarmu?’, “Baik..”suaraku terlihat lesu. Aku
baru saja pulang setelah makan malam dengan Marthin setelah jam kantor usai.
“Habis dari mana?” jam sudah
menunjukkan pukul 22.00 wib, “Tadi abis jalan sama teman dari Papua, dia lagi
cuti liburan disini..”, “Oh, dia kerja dimana?”, “Freeport..”, Aku menghela
nafas panjang..
Diam sejenak…”Dia mau ngelamar
aku, mau ngajak aku nikah…”, “Baguslah…”, nada suaranya datar…
Aku hampir menangis, meneteskan
airmata..jadi benar sesungguhnya Dio tidak punya perasaan sedikitpun ke aku?,
jadi apa arti perhatiannya selama ini?, aku mulai marah pada diriku sendiri,
marah karena mengizinkannya masuk kedalam ruang hatiku, membiarkanku menjaring
asa yang ternyata hanya aku sendiri yang punya mimpi itu…jadi…selama ini…aku
seperti pungguk merindukan bulan..ingin kusudahi teleponnya, tapi disisi lain
aku takut dia tersinggung, aku masih takut kehilangan dia, meskipun airmataku
sudah menetes.
“Aku sayang sama kamu Dio,
mengapa tak coba mencegahku..”bathinku pelan.
“Kapan rencananya?”, suaranya
terdengar datar…
“Belum tau, soalnya yang setuju
masih ortu, aku belum mengiyakan..”,
“Kenapa?”,
“Aku ngga punya perasaan apapun
padanya, meskipun dia menjanjikan Toyota Jazz sebagai hadiah pernikahan, aku
ngga tertarik sedikitpun..”. suaraku makin bergetar
“Kenapa, dia orangnya baik kan?”,
suaranya terdengar polos
“Karena ada kamu Dio, karena
dihatiku sudah ada kamu, mau dikasih 10 toyota jazz pun aku tidak akan
tergiur..cobalah cegah aku..”, dalam hatiku sedih. Dia jelas tidak akan pernah
mengerti perasaanku, toh dia tidak mencintai aku samasekali..
“Aku jatuh cinta dan menikah itu
berdasarkan pilihanku sendiri, bukan karena materi atau apapun, aku tidak mau
menikah karena sudah tidak punya pilihan lain lagi, aku mau menikah karena
memang itu pilihanku..” nada suaraku sedikit tegas.
Dio hanya ber oooh panjang
sebelum akhirnya dia berkata “, Orang dari papua baik baik kok, hampir sama
kayak kita orang batak, aku dukunglah, dia pasti bisa menjadi pasanganmu yang
baik..”.
Dia tidak tahu betapa aku terluka
mendengar kalimat itu..
Dalam keadaan patah hati, yang
(untungnya) Dio tidak sampai tahu karena aku masih bisa bersikap wajar padanya,
aku mengambil keputusan berani. Aku berkata “Iya” pada Marthin, aku menerima
lamarannya. Marthin terlihat sangat bahagia, meski rasa tertekan itu tidak bisa
ditutupi dari raut wajahku…
Di kantor aku sering melamun,
teman teman sering meledek rencana pernikahanku dengan Marthin, apalagi
Redaktur Eksekutif dan Manager Artistik, mereka selalu kompak dengan logat
papua yang khas menghiburku..meledekku..
Dio masih rajin menelepon,
seperti biasa setiap hari…bahkan lebih sering dibandingkan komunikasiku dengan
Marthin.
Dan rasa rinduku masih sama….
Sore minggu di apartemen Marthin..
Dia tiduran di kamarnya,
sementara aku menonton tv di depan. Pikiranku melayang kemana mana, teringat
Dio, teringat kebersamaan selama ini…
Marthin menatapku sekilas “, Kamu
ada masalah?, hari ini selalu diam..”, aku berusaha tersenyum, terpaksa.
“Kamu ada masalah bilang, aku
akan bantu kamu untuk masalah apapun itu..kita akan menikah..”, wajahku
berusaha tersenyum.
Tiba tiba hp Marthin bunyi
sekilas aku melihat ada nama “Tersayang”, Jadi…???
Aku yakin itu bukanlah Fani,
mungkin ada orang lain lagi…aku pura pura tidak melihat…Marthin masih terlelap.
Aku menghembuskan nafas panjang, “Duh
Gusti, salahkah aku dengan keputusan ini?”,
jadi dia menjanjikan pernikahan mungkin bukan hanya kepadaku saja,
sekalipun selama dua tahun kemarin ini dia terlihat serius.
Cukuplah sudah….
Aku meninggalkan apartemennya
tanpa pamit lagi…satu satunya alasanku menerima keinginannya menikah denganku
karena aku menghargai kegigihannya, sekarang aku sadar tak ada yang perlu diteruskan.
Aku sudah melupakan keinginanku
untuk menikah…Mathin juga tidak menghubungiku, dia pasti sudah tahu kalau aku
sudah cukup mengetahui semuanya, dia cukup kenal prinsip dan keras kepalaku. Kami
sedang meeting ketika nada dering khas itu menelponku “Temani masa tua”nya the
potters, My Wise calling, aku buat nama itu di Hpku, karena Wise itu artinya
Bijak..dan bagiku Dio adalah laki laki pilihanku yang bijak..rindu…rindu…setiap
hari aku merindukan suara itu…
“Udah ngga galau lagi ya mbak?”,
goda Bimo, sang manager artistic
“Kenapa..?”
“Kalau Bapa Martinus yang calling
ada yang galau, kalau bapa yang di Poso calling ada yang senang…”, goda pria
berkacamata itu dengan nada papua yang khas. Aku mencubit lengannya..
Aku baca pesan masuk “, Hasian..”,
aku terbelalak.. Dio..?, sejak kapan seromantis ini?. Aku mencoba menata
hatiku, berharap ini bukan sms nyasar ke hpku.
Membalas “Eh, kamu salah kirim
sms yah?”
“Tidak, sms itu buat kamu..sejak
hari ini aku akan terus memanggilmu hasian..”, jantungku berdegup kencang.
“Maksudnya?”, aku masih tak
percaya
“Forever you nona Mey Situngkir,
aku cinta padamu..”
“Hahhh..”
“Hah heh..napa kaget?” Dio kalem
“Tumben romantis?”, wajahku,
andai dia bisa melihatnya. Kalau dia dihadapanku, mungkin aku sudah memeluknya
saat ini.
“Kok tumben?, ya udah lain kali
kalau nggak suka, aku ngga akan bilang lagi…”, nadanya masih sedatar biasanya.
“Jangan dong..”, manjaku mulai
kambuh..
“Jangan apanya…”
“Mauuuu..dibilang sayang setiap
hari”. Rasanya aku ingin teriak bahagia. “Forever you too Dio, never change on
you..”. meski hanya dalam hati tapi aku tahu sekarang, hati kami sesungguhnya
tak pernah saling menjauh..
Buat : Seseorang yang sedang
bertugas di Poso…