Rabu, 05 September 2012

JANGAN PERGI DION




Lara mencoba menahan kepergian cowok yang tengah patah hati itu, tapi Dion tetap bertahan. Baginya bertahan setiap hari melihat kekasihnya didekapan lelaki lain adalah sebuah neraka.
Vio akan menikah...., minggu depan, padahal gadis itu masih berusia belasan tahun, maklum SMU aja belum kelar.
Hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya mengingat hubungan mereka yang sudah bertahan cukup lama dan tidak pernah riak, Vio mengaku dengan airmata, dia dijodohkan dengan paribannya. Dion tak mampu percaya, hari gini masih ada orangtua dengan pemikiran ortodoks seperti itu?, mungkin Vio sengaja mencari alasan.
“Kamu tetap akan pergi?”, Lara tak kuasa menahan perasaannya, Dion adalah mantan kekasih sahabatnya, Viola dan Lara adalah sahabat dari mereka masih sama sama berseragam merah.
“Untuk apa aku disini, aku akan pindah ke Singapura, percuma di Jakarta...”, Dion dengan raut wajah tegas.
Dion meraih ranselnya dan berlalu, Lara mengejarnya “Jangan pergi, Dion...kumohon jangan pergi..!!”, airmatanya mulai menetes, memeluk Dion dari belakang, Dion terhenyak kaget.
“Kamu..?’,
“Aku..sudah lama jatuh cinta sama kamu, jauuh sebelum kamu pacaran dengan Vio..”, masih dengan airmata yang mengalir deras. Dion menatapnya dengan tatapan tajam “, Sinting kamu..!”, ucapnya tanpa perasaan.
Meninggalkan Lara yang masih sesunggukan.
****
Empat hari lagi Dion akan berangkat ke Singapura, dada Lara terasa sesak, bagaimanapun dia tidak rela kehilangan cowok bermata tajam itu, meski Dion sudah menolaknya dengan cara yang samasekali tidak berperikemanusiaan, cinta memang jarang pakai logika.
Mencoba menelpon Dion, lelaki itu mereject hpnya. Lara hanya mampu terluka
“Sebenci itukah kamu padaku Dion?, hanya karena perasaanku?, salahkah aku yang mengungkapkan perasaanku, jahatkah itu namanya?”, membathin sendirian.
Dion bukannya tidak menyadari perasaan Lara, namun bukankah akan jauh lebih menyakitkan buat Lara kalau Dion bersikap seolah olah menyambut perasaannya?, Lara akan semakin sakit dan terus berharap. Dion baru saja patah hati.....
Dion sedang sibuk packing packing saat sepasang kaki jenjang sudah ada didepannya, kaki Lara..
“Ngapain sih kamu lagi?”, ketus..tapi Lara sudah tidak perduli lagi, rasa cintanya yang terpendam cukup lama sudah cukup tangguh menerima perlakuan sesakit apapun dari mantan kekasih sahabatnya itu. “Kamu akan tetap pergi?”, mencoba tegar. “Iya, sudahlah jangan cengeng dihadapanku, jangan berbuat seolah kamu siapa siapaku..”. nadanya sangat dingin.
Tapi ternyata Lara tidak sekuat itu, pertahanannya kembali bobol..airmatanya mengalir deras.
“Aku tidak akan pernah mengganggumu lagi, pergilah kalau mau pergi..!”

Lara mengurung diri dikamar, Dion sudah berangkat ke Singapura pagi tadi, dan tidak pamit. Lara hanya mendengar kabar sekilas dari Ayuni, adiknya Dion.
Dibacanya lembar kertas ulangannya tadi siang yang kosong melompong dan bernilai nol..untuk pertama kalinya dalam hidupnya dia tidak bersemangat belajar, dulu semangat terbesarnya adalah Dion, sekalipun disamping Dion ada Vio, bisa melihat wajahnya saja, senyumnya saja sudah cukup membuat Lara bersemangat. Andai saja Dion tahu, sehari saja tak ketemu Dion bisa membuat Lara uring uringan dan melamun seharian...
Ibu masuk ke kamar, “Lara, diluar ada tamu..”.
“Ada siapa ibu?”
“Ada guru privatmu yang baru, soalnya mas Sapto yang biasa ngajarin kamu sudah pulang ke Jogja, istrinya melahirkan..!”, Lara hanya mengeluh malas, sudah tidak punya semangat hidup.
“Bu, bisa nggak jangan sekarang?”, memelas
Tapi agaknya ibu tidak bisa diajak kompromi, “Kamu boleh malas dalam bidang lain, tapi dalam urusan pendidikan, kamu tahu betapa tegasnya ibu kan?, kamu harus belajar beradaptasi dengan ibu gurumu yang baru mulai sekarang, namanya Ibu Ning..!”, Ibu tidak bisa diajak tawar menawar. Ibu setengah menyeret Lara ketemu dengan ibu Ning, Lara malas malasan. Bagaimana dia bisa berkonsentrasi sementara separuh hatinya sudah terbawa ke Singapura, lagi ngapain yah Dion disana sekarang?.
Ibu Ning sesungguhnya ibu guru yang sangat simpatik dan menyenangkan, dan yang paling penting bening dan cantik, Lara heran ibu guru secantik ini mengaku belum punya pacar, Lara mulai menikmati pengajaran ibu Ning, lebih bersahabat dan sabar..beda dengan pak Sapto yang kadang suka menghukum dengan memukul tangannya kalau dia tidak tahu apa apa...Ibu Ning, sangat menarik...yang paling penting bisa diajak curhat...
Disela sela jam pelajaran mereka kadang suka berdiskusi mengenai cinta, mengenai dunia remaja..
“Ibu pernah jatuh cinta?”,  Lara dengan pandangan menyelidik.
“Pernah..”, ibu Ning dengan malu malu
“Pernah nembak cowok?”,
Ibu Ning mengangguk “,Diterima..?”, Lara mulai penasaran, Ibu Ning mengangguk lagi..Lara mengutuk dirinya pelahan, jelaslah diterima..cewek bening begini, cowok mana yang tega menolak?, semua juga mau...”Memangnya Lara pernah suka sama cowok?”, pancing Ibu Lara. Lara mengangguk lunglai, namun enggan mengakui kalau dia baru saja ditolak.
“Dari kapan?”
“Dari kelas tiga SMP, dia kakak kelas saya, anaknya baik, ganteng..tapi bukan karena dia ganteng makanya saya suka, anaknya tulus dan suka menolong..”, Lara bertutur polos
“Oh yah?”, Ibu Ning mendengar dengan penuh perhatian.
“Sayangnya dia sudah pergi bu, dia tidak mau tinggal di Jakarta karena pacarnya akan menikah..!!”, wajahnya berubah mendung.
“Kamu percaya nggak pada takdir?, kalau jodoh dia akan kembali dengan sendirinya..percaya sama ibu..”, Ibu Ning menggenggam tangan Lara bersahabat. “Yang penting kamu harus belajar keras, kamu buat dia bangga,  paling tidak kamu harus berprestasi, buat dia menyesal karena sudah melepaskanmu..cewek sehebat Lara tidak pantas untuk disia-siakan, dia harus tahu itu..”, wajah Lara berbinar mendengar kata kata ibu guru privatnya, menggenggam tangan bu Ning dengan penuh semangat.
“Ibu benar, saya akan bangkit..!”, tekadnya..                                        

Lima bulan berlalu, dan Dion seperti menghilang ditelan bumi, tidak pernah ada khabarnya samasekali, Lara selalu berusaha menghimpun informasi dari teman temannya, dari internet seperti dari dunia maya, google, fesbuk, twitter, lelaki itu benar benar seperti hilang ditelan bumi.
Tapi Lara tidak pernah jenuh mencari, dia yakin dibelahan dunia manapun Dion berada, Dion kelak pasti akan memikirkannya seperti dia memikirkan Dion saat ini, tidak satu detikpun dia mampu menghilangkan lelaki itu dari pikirannnya.
Lara mulai mencoba menjadi penulis lepas disebuah media massa, honornya tidak seberapa tetapi rasa bangganya yang membuncah saat namanya tertera dikoran sebagai penulis cerpen.
“Suatu saat jika engkau kembali ke sini, akan ku tunggu dirimu kembali dengan rasa yang sama..”, ending dari cerpennya yang berjudul “Flying without wings”, Yah..cerpen yang bertutur tentang pencariannya akan sosok itu, yang tidak terlupakan, Dion. Berharap suatu saat Dion akan membaca kisah tersebut dan setidaknya mengerti, Lara memujanya lebih dari apapun.
Tapi yang paling mengagetkan adalah saat tawaran muncul dari sebuah stasiun radio yang menawarkannya menjadi  script writer, jujur itu memang bidang yang pernah digelutinya semasa sekolah, tetapi bagaimana pihak radio tahu bahwa dia memiliki talenta itu?, pertanyaan itu tak pernah terjawab karena pihak radio teman dia bekerja tak pernah mau kompromi untuk bercerita tentang apapun.
Hanya disyukuri dan menganggap itu sebagai sebuah nikmat yang harus disyukuri dari Tuhan.
Jadilah Lara super sibuk, waktunya mulai dihabiskan dengan beragam aktifitas, mulai lupa dengan bayangan Dion.
Lara juga lulus dengan nilai yang amat memuaskan, orang yang pertama paling dia ucapkan terimakasih adalah Ibu Ning..ibu guru simpatik yang sudah mulai dianggap kakaknya.
Lara bermaksud membeli kado sebagai ungkapan terimakasihnya pada guru terkasihnya itu, Ibu Ning...
Hmm...sebuah sweater berwarna biru langit, Ibu Ning yang kalem pasti suka...
Mengetuk pintu rumah bu Ning, namun rumahnya tidak terkunci, Lara sudah menganggap rumah ini seperti rumahnya sendiri.
Tiba tiba....
Lara hanya mampu tergugu, kaget..laki laki itu..?, dia kan...?, Lara sudah berlari keluar tanpa mereka menyadari keberadaannya.
Jadi Ibu Ning, pacar baru Dion?, kenapa harus ketemu sosok itu lagi?, kenapa harus disaat yang tidak tepat?,  Jadii...rasanya jauuuuh lebih sakit daripada penolakan Dion pertama kali saat dia jujur menyatakan perasaannya.
Lara berulangkali terluka, oleh lelaki yang sama. Harusnya dia sadar, sudah saatnya mengubur nama itu dalam dalam.
Dan luka itu terbawa hingga kekantor, ke radio...Lara menangis kembali menumpahkan perasaannya didekat gudang.
“Ra..?”, seseorang menepuk bahunya pelan
Lara tidak sanggup berkata apa apa, langsung memeluk mas Arlan, creative yang terbengong mendapat pelukan mendadak dari Lara.
“Maaf mas..”, minta maaf kemudian dengan wajah malu malu.
“Kamu ada masalah?”,
“Mas, pernah jatuh cinta nggak?”, Lara tanpa basa basi lagi. Mas Arlan segera paham. Dan segera mengambil posisi untuk mendengarkan curhatan mendadak dari mas Arlan, cowok ganteng yang juga banyak digandrungi gadis gadis.
“Hanya ada dua pilihan, dia akan kembali atau dia tidak akan pernah kembali.., kamu harus menyiapkan hatimu untuk kedua kesempatan itu, sembari tetap membuka hati untuk oranglain saat kamu menyadari kemungkinan suatu saat jodohmu bukanlah dia..”, nasehat mas Arlan bijak.
“Tapi mas, sampai saat ini masih Dion yang ada dihati saya, saya nggak bisa menggantikan dia dengan siapapun, seistimewa apapun..”,
“Setiap orang yang jatuh cinta pasti akan melakukan hal yang sama, mereka akan selalu menganggap orang yang mereka cintai adalah makhluk yang paling sempurna sampai menemukan orang lain kembali untuk disayangi, nah begitu juga kamu dengan Dion, karena dihati kamu masih selalu ada dia, maka akan sulit buat kamu membuka hati untuk orang lain..”, mas Arlan bijak. Lara mendesah nafas panjang, Dion mungkin sepanjang perjalanan cintanya banyak menemukan orang lain untuk dijadikan kekasihnya, namun mengapa tak sekalipun mencoba  berpaling padanya?. Begitu tak pantaskah Lara untuk dicintai?, memang dia tidak secantik Vio ataupun bu Ning, namun hanya sebatas itukah kemampuan Dion mencintai?.
Lara muncul di radio dengan tampilan yang berbeda dari biasanya, terlihat lebih feminim dengan tank top coklat dan jeans biru, sepatu kets?, sudah berganti dengan highells modis..teman temannya pangling, ini Lara bukan yah?.
Mas Arlan yang pertama kali menyadari, “Kamu cantik kalau begini?”, dengan nada kagum yang tulus.
“Cowok dimana mana sama yah mas?, baru menyadari kalau kita benar benar “perempuan” ketika kita bermetamorfosa..”, dengan nada sinis entah pada siapa...mungkin kepada Dion..
“Bukan begitu Ra, mas menghargai perubahanmu, tapi itu harus sesuatu yang membuatmu nyaman..jadilah dirimu sendiri..!”, mas Arlan kembali mencoba bijak. Gadis ini masih sangat labil, maklum baru lulus SMU dan sedang “patah hati”.
Lara kembali memeluk mas Arlan, tetapi kali ini mas Arlan menghindar...
“Kenapa mas?”, heran
“Jangan..kalau kita terlalu dekat, lama lama mas bisa jatuh cinta sama kamu..”, mas Arlan mencoba mengingatkan.
“Kenapa mas, kalau kita saling jatuh cinta?, sudah dewasa kan?”, kalimat itu seolah memberikan peluang, tetapi sebagai seseorang yang sudah dewasa dan berpengalaman, mas Arlan cukup tahu itu hanyalah kalimat seorang anak gadis remaja yang sedang labil dan gundah...GALAU..istilah anak zaman sekarang.
“Kamu hanya sedang bingung, “mencium kening gadis itu, namun entah mengapa mulai ada getaran aneh dihatinya. Karena Lara-kah?, gadis ingusan itu?.
“Mas...”, Lara kembali memeluk mas Arlan, lelaki itu tak sanggup melawan perasaannya, mulai ada sesuatu yang  tumbuh dihatinya. Rasanya tidak ingin melepaskan pelukan Lara...
“Mungkin aku jatuh cinta dengan mas Arlan..”, Gadis itu selalu jujur dengan perasaannya.
Mas Arlan hanya mengecup keningnya sebelum akhirnya mengangguk
“Mas juga...!”

Hari harinya tidak lagi sepi, mulai sedikit demi sedikit bayangan Dion terkikis habis, yang ada hanyalah hari penuh warna dengan mas Arlan, pemuda berusia 28 tahun yang sangat bijak dan romantis.
Lara dan mas Arlan, bergandengan tangan usai menonton premiere sebuah film yang lagi booming, tanpa sengaja matanya tertuju pada sesosok yang sangat dia kenal..D-I-O-N, mengusap matanya berkali kali sekedar meyakinkan semoga itu bukanlah sekedar mimpi, Dion tidak dengan bu Ning, cewek lain, masih dengan selera yang sama..cantik dan seksi, cewek mana lagi yang berhasil dikibuli maestro itu?.
Selera menontonnya mendadak hilang “Mas, kepalaku sakit, kita pulang yuk..!!”, mas Arlan hanya mengangguk tanpa ekspresi, ada sesuatu yang hilang diwajah itu..entah apa, Lara tidak sempat menyadari, rasa muaknya terhadap Dion terlalu mendominasi...
Mas Arlan hanya mengantar hingga didepan pintu, lalu pulang dengan lebih diam dari biasanya. Lara menghembuskan nafas panjang, sambil menutup pintu..Dion..ternyata laki laki itu begitu kuat magnetnya dihati Lara, rasanya tak sanggup melihat kemesraannya dengan gadis tadi, gadis yang keberapa yah dia setelah putus dari Vio?, dan..mengapa tak pernah sekalipun memilih Lara?, tidak masuk kualifikasi kah dirinya?, terlalu Dion...
Bel berbunyi “,Ada yang kelupaan...ma..s??”, nadanya terbata saat melihat sosok yang tiba tiba muncul dihadapannya, Lara mengira mas Arlan yang kembali mengetuk pintu dan memencet bel. Wajahnya tampak pucat seperti mayat hidup...
Lara terdorong oleh rasa emosinya, cukup sudah laki laki ini mempermainkan emosinya, tidak akan lagi...tidak akan pernah lagi Dion berhasil...Dion menjerit, tangannya terjepit dipintu..
“Ra..”, suara itu terdengar begitu memohon.
Lara berusaha tegar, namun tak sanggup, pertahanannya runtuh juga.
“Ada apa..”, nadanya sangat dingin
“Ra, kasih aku kesempatan, jangan pergi Lara..”, Dion, bukan sosok gagah yang biasa Lara kenal.”
“Maksudnya apa nih?”
“Aku sayang kamu Ra, aku nggak rela melihat kamu dekat sama Arlan..”, Dion terbata bata mengakui perasaannya.
“Dulu kamu kemana?, membiarkan aku mengemis, pergi ke Singapura ngga bilang bilang, siapa kamu seenaknya mempermainkan perasaanku, gadis mana yang bikin kamu patah hati, mentang mentang aku yang jatuh cinta duluan...”, Ah...gadis itu tidak berhasil untuk tidak cengeng..
“Ra, satu satu dong....lagian kata siapa kamu yang jatuh cinta duluan?”, Dion mulai berani jujur
“Maksudnya apa, maksudnya apa ngomong begitu..!”, galaknya Lara mulai keluar, kembali ke Lara yang biasa Dion kenal sebelumnya..
Dion menjitak kepala Lara pelan..
“Dengan nona yang centil, kamu lupa yah, kamu orangnya sangat ekspresif, gampang dan berani  menyatakan rasa suka pada orang, ingat gak waktu dulu sama ketua OSIS, suka dikit aja kamu ngomong sama dia, kamu bilang sayang, padahal kamu tau dulu gimana perhatiannya aku sama kamu, nah aku tidak mau kejadian yang sama terulang lagi, asal tau dulu aku jatuh cintanya sama kamu, tapi kamu lebih milih ketua OSIS, akhirnya aku dekati Vio, sampai aku berhasil jatuh cinta padanya..”Jelas Dion panjang lebar.
“Terus, ke Singapura tidak pamit?”, Lara masih penasaran.
“Aku tidak ke Singapura Lara. Aku masih tetap di Jakarta, mengikuti perkembanganmu, aku sengaja ngekost biar leluasa mengawasimu dari jauh, kamu kira siapa yang merekomendasikan bu Ning jadi guru privatmu?, siapa yang memasukkanmu jadi script writer di radio?, aku hanya ingin melihat gadisku tangguh..”, mengusap kepala Lara, hati Lara bergetar.
“Gadisku?, maksudmu..??” Lara mencoba memastikan
“Kamu tau maksudku, nggak usah pura pura nggak tahu..”,
“Iya, tapiiii....”, Lara masih bingung
“Sudahlah, kalau mau diceritain panjang, nggak asyik, gimana kalau diceritain sambil pacaran?”, Dion mengerling nakal. Lara mencubit pinggang Dion pelan.
“Tapi, jujur sebenarnya aku masih ingin melanjutkan permainan ini kalau saja mas Arlan tidak muncul dalam kehidupanmu, sumpah...demi Tuhan dia ngga masuk dalam daftar skenarioku, akhirnya pelan pelan aku mengadakan pendekatan dan dia ngerti, walau sedikit berat hati..”, Dion tampak serius.
“Tega kamu...gimana dengan perasaannya?”,
“Tenang saja, dia sudah ku plot untuk dekat dengan bu Ning, mereka pasti cocok, bu Ning jauh lebih cantik dari kamu, nggak mungkin dia nolak...!”, Dion ngakak
Lara mencubit pinggang Dion sekali lagi, Dion menangkap tangan Lara.
“Masih belum berubah yah, masih suka nyubit...daripada dicubit, gimana kalau dipeluk aja..”, Dion memeluk Lara, Lara masih bengong. Merasa ini masih sebuah mimpi..
“Ini nggak mimpi kan?”, Lara, diantara gemuruh kebahagiaannya.
“Nggak dong, mau dicubit?”, Dion berkelakar, Lara mencoba mencubit tapi tidak berhasil. Kali ini Dion memeluknya erat, mencium kening Lara.