Lara mencoba
menahan kepergian cowok yang tengah patah hati itu, tapi Dion tetap bertahan.
Baginya bertahan setiap hari melihat kekasihnya didekapan lelaki lain adalah
sebuah neraka.
Vio akan
menikah...., minggu depan, padahal gadis itu masih berusia belasan tahun,
maklum SMU aja belum kelar.
Hal yang tidak
pernah terbayangkan sebelumnya mengingat hubungan mereka yang sudah bertahan
cukup lama dan tidak pernah riak, Vio mengaku dengan airmata, dia dijodohkan
dengan paribannya. Dion tak mampu percaya, hari gini masih ada orangtua dengan
pemikiran ortodoks seperti itu?, mungkin Vio sengaja mencari alasan.
“Kamu tetap
akan pergi?”, Lara tak kuasa menahan perasaannya, Dion adalah mantan kekasih
sahabatnya, Viola dan Lara adalah sahabat dari mereka masih sama sama
berseragam merah.
“Untuk apa aku
disini, aku akan pindah ke Singapura, percuma di Jakarta...”, Dion dengan raut
wajah tegas.
Dion meraih
ranselnya dan berlalu, Lara mengejarnya “Jangan pergi, Dion...kumohon jangan
pergi..!!”, airmatanya mulai menetes, memeluk Dion dari belakang, Dion
terhenyak kaget.
“Kamu..?’,
“Aku..sudah
lama jatuh cinta sama kamu, jauuh sebelum kamu pacaran dengan Vio..”, masih
dengan airmata yang mengalir deras. Dion menatapnya dengan tatapan tajam “,
Sinting kamu..!”, ucapnya tanpa perasaan.
Meninggalkan
Lara yang masih sesunggukan.
****
Empat hari lagi
Dion akan berangkat ke Singapura, dada Lara terasa sesak, bagaimanapun dia
tidak rela kehilangan cowok bermata tajam itu, meski Dion sudah menolaknya
dengan cara yang samasekali tidak berperikemanusiaan, cinta memang jarang pakai
logika.
Mencoba
menelpon Dion, lelaki itu mereject hpnya. Lara hanya mampu terluka
“Sebenci itukah
kamu padaku Dion?, hanya karena perasaanku?, salahkah aku yang mengungkapkan
perasaanku, jahatkah itu namanya?”, membathin sendirian.
Dion bukannya
tidak menyadari perasaan Lara, namun bukankah akan jauh lebih menyakitkan buat
Lara kalau Dion bersikap seolah olah menyambut perasaannya?, Lara akan semakin
sakit dan terus berharap. Dion baru saja patah hati.....
Dion sedang
sibuk packing packing saat sepasang kaki jenjang sudah ada didepannya, kaki
Lara..
“Ngapain sih
kamu lagi?”, ketus..tapi Lara sudah tidak perduli lagi, rasa cintanya yang
terpendam cukup lama sudah cukup tangguh menerima perlakuan sesakit apapun dari
mantan kekasih sahabatnya itu. “Kamu akan tetap pergi?”, mencoba tegar. “Iya,
sudahlah jangan cengeng dihadapanku, jangan berbuat seolah kamu siapa
siapaku..”. nadanya sangat dingin.
Tapi ternyata
Lara tidak sekuat itu, pertahanannya kembali bobol..airmatanya mengalir deras.
“Aku
tidak akan pernah mengganggumu lagi, pergilah kalau mau pergi..!”
Lara mengurung diri dikamar, Dion
sudah berangkat ke Singapura pagi tadi, dan tidak pamit. Lara hanya mendengar kabar
sekilas dari Ayuni, adiknya Dion.
Dibacanya lembar kertas
ulangannya tadi siang yang kosong melompong dan bernilai nol..untuk pertama
kalinya dalam hidupnya dia tidak bersemangat belajar, dulu semangat terbesarnya
adalah Dion, sekalipun disamping Dion ada Vio, bisa melihat wajahnya saja,
senyumnya saja sudah cukup membuat Lara bersemangat. Andai saja Dion tahu,
sehari saja tak ketemu Dion bisa membuat Lara uring uringan dan melamun
seharian...
Ibu masuk ke kamar, “Lara, diluar
ada tamu..”.
“Ada siapa ibu?”
“Ada guru privatmu yang baru,
soalnya mas Sapto yang biasa ngajarin kamu sudah pulang ke Jogja, istrinya
melahirkan..!”, Lara hanya mengeluh malas, sudah tidak punya semangat hidup.
“Bu, bisa nggak jangan
sekarang?”, memelas
Tapi agaknya ibu tidak bisa
diajak kompromi, “Kamu boleh malas dalam bidang lain, tapi dalam urusan
pendidikan, kamu tahu betapa tegasnya ibu kan?, kamu harus belajar beradaptasi
dengan ibu gurumu yang baru mulai sekarang, namanya Ibu Ning..!”, Ibu tidak
bisa diajak tawar menawar. Ibu setengah menyeret Lara ketemu dengan ibu Ning,
Lara malas malasan. Bagaimana dia bisa berkonsentrasi sementara separuh hatinya
sudah terbawa ke Singapura, lagi ngapain yah Dion disana sekarang?.
Ibu Ning sesungguhnya ibu guru
yang sangat simpatik dan menyenangkan, dan yang paling penting bening dan
cantik, Lara heran ibu guru secantik ini mengaku belum punya pacar, Lara mulai
menikmati pengajaran ibu Ning, lebih bersahabat dan sabar..beda dengan pak
Sapto yang kadang suka menghukum dengan memukul tangannya kalau dia tidak tahu
apa apa...Ibu Ning, sangat menarik...yang paling penting bisa diajak curhat...
Disela sela jam pelajaran mereka
kadang suka berdiskusi mengenai cinta, mengenai dunia remaja..
“Ibu pernah jatuh cinta?”, Lara dengan pandangan menyelidik.
“Pernah..”, ibu Ning dengan malu
malu
“Pernah nembak cowok?”,
Ibu Ning mengangguk
“,Diterima..?”, Lara mulai penasaran, Ibu Ning mengangguk lagi..Lara mengutuk
dirinya pelahan, jelaslah diterima..cewek bening begini, cowok mana yang tega
menolak?, semua juga mau...”Memangnya Lara pernah suka sama cowok?”, pancing
Ibu Lara. Lara mengangguk lunglai, namun enggan mengakui kalau dia baru saja
ditolak.
“Dari kapan?”
“Dari kelas tiga SMP, dia kakak
kelas saya, anaknya baik, ganteng..tapi bukan karena dia ganteng makanya saya
suka, anaknya tulus dan suka menolong..”, Lara bertutur polos
“Oh yah?”, Ibu Ning mendengar
dengan penuh perhatian.
“Sayangnya dia sudah pergi bu,
dia tidak mau tinggal di Jakarta karena pacarnya akan menikah..!!”, wajahnya
berubah mendung.
“Kamu percaya nggak pada takdir?,
kalau jodoh dia akan kembali dengan sendirinya..percaya sama ibu..”, Ibu Ning
menggenggam tangan Lara bersahabat. “Yang penting kamu harus belajar keras,
kamu buat dia bangga, paling tidak kamu
harus berprestasi, buat dia menyesal karena sudah melepaskanmu..cewek sehebat
Lara tidak pantas untuk disia-siakan, dia harus tahu itu..”, wajah Lara
berbinar mendengar kata kata ibu guru privatnya, menggenggam tangan bu Ning
dengan penuh semangat.
“Ibu
benar, saya akan bangkit..!”, tekadnya..
Lima bulan berlalu, dan Dion
seperti menghilang ditelan bumi, tidak pernah ada khabarnya samasekali, Lara
selalu berusaha menghimpun informasi dari teman temannya, dari internet seperti
dari dunia maya, google, fesbuk, twitter, lelaki itu benar benar seperti hilang
ditelan bumi.
Tapi Lara tidak pernah jenuh
mencari, dia yakin dibelahan dunia manapun Dion berada, Dion kelak pasti akan
memikirkannya seperti dia memikirkan Dion saat ini, tidak satu detikpun dia
mampu menghilangkan lelaki itu dari pikirannnya.
Lara mulai mencoba menjadi
penulis lepas disebuah media massa, honornya tidak seberapa tetapi rasa
bangganya yang membuncah saat namanya tertera dikoran sebagai penulis cerpen.
“Suatu saat jika engkau kembali
ke sini, akan ku tunggu dirimu kembali dengan rasa yang sama..”, ending dari
cerpennya yang berjudul “Flying without wings”, Yah..cerpen yang bertutur
tentang pencariannya akan sosok itu, yang tidak terlupakan, Dion. Berharap
suatu saat Dion akan membaca kisah tersebut dan setidaknya mengerti, Lara
memujanya lebih dari apapun.
Tapi yang paling mengagetkan
adalah saat tawaran muncul dari sebuah stasiun radio yang menawarkannya
menjadi script writer, jujur itu memang
bidang yang pernah digelutinya semasa sekolah, tetapi bagaimana pihak radio
tahu bahwa dia memiliki talenta itu?, pertanyaan itu tak pernah terjawab karena
pihak radio teman dia bekerja tak pernah mau kompromi untuk bercerita tentang
apapun.
Hanya disyukuri dan menganggap
itu sebagai sebuah nikmat yang harus disyukuri dari Tuhan.
Jadilah Lara super sibuk,
waktunya mulai dihabiskan dengan beragam aktifitas, mulai lupa dengan bayangan
Dion.
Lara juga lulus dengan nilai yang
amat memuaskan, orang yang pertama paling dia ucapkan terimakasih adalah Ibu
Ning..ibu guru simpatik yang sudah mulai dianggap kakaknya.
Lara bermaksud membeli kado
sebagai ungkapan terimakasihnya pada guru terkasihnya itu, Ibu Ning...
Hmm...sebuah sweater berwarna
biru langit, Ibu Ning yang kalem pasti suka...
Mengetuk pintu rumah bu Ning,
namun rumahnya tidak terkunci, Lara sudah menganggap rumah ini seperti rumahnya
sendiri.
Tiba tiba....
Lara hanya mampu tergugu,
kaget..laki laki itu..?, dia kan...?, Lara sudah berlari keluar tanpa mereka
menyadari keberadaannya.
Jadi Ibu Ning, pacar baru Dion?,
kenapa harus ketemu sosok itu lagi?, kenapa harus disaat yang tidak
tepat?, Jadii...rasanya jauuuuh lebih
sakit daripada penolakan Dion pertama kali saat dia jujur menyatakan
perasaannya.
Lara berulangkali terluka, oleh
lelaki yang sama. Harusnya dia sadar, sudah saatnya mengubur nama itu dalam
dalam.
Dan luka itu terbawa hingga
kekantor, ke radio...Lara menangis kembali menumpahkan perasaannya didekat
gudang.
“Ra..?”, seseorang menepuk
bahunya pelan
Lara tidak sanggup berkata apa
apa, langsung memeluk mas Arlan, creative yang terbengong mendapat pelukan
mendadak dari Lara.
“Maaf mas..”, minta maaf kemudian
dengan wajah malu malu.
“Kamu ada masalah?”,
“Mas, pernah jatuh cinta nggak?”,
Lara tanpa basa basi lagi. Mas Arlan segera paham. Dan segera mengambil posisi
untuk mendengarkan curhatan mendadak dari mas Arlan, cowok ganteng yang juga
banyak digandrungi gadis gadis.
“Hanya ada dua pilihan, dia akan
kembali atau dia tidak akan pernah kembali.., kamu harus menyiapkan hatimu
untuk kedua kesempatan itu, sembari tetap membuka hati untuk oranglain saat
kamu menyadari kemungkinan suatu saat jodohmu bukanlah dia..”, nasehat mas
Arlan bijak.
“Tapi mas, sampai saat ini masih
Dion yang ada dihati saya, saya nggak bisa menggantikan dia dengan siapapun,
seistimewa apapun..”,
“Setiap orang yang jatuh cinta
pasti akan melakukan hal yang sama, mereka akan selalu menganggap orang yang
mereka cintai adalah makhluk yang paling sempurna sampai menemukan orang lain
kembali untuk disayangi, nah begitu juga kamu dengan Dion, karena dihati kamu
masih selalu ada dia, maka akan sulit buat kamu membuka hati untuk orang
lain..”, mas Arlan bijak. Lara mendesah nafas panjang, Dion mungkin sepanjang
perjalanan cintanya banyak menemukan orang lain untuk dijadikan kekasihnya,
namun mengapa tak sekalipun mencoba
berpaling padanya?. Begitu tak pantaskah Lara untuk dicintai?, memang
dia tidak secantik Vio ataupun bu Ning, namun hanya sebatas itukah kemampuan
Dion mencintai?.
Lara muncul di radio dengan
tampilan yang berbeda dari biasanya, terlihat lebih feminim dengan tank top
coklat dan jeans biru, sepatu kets?, sudah berganti dengan highells
modis..teman temannya pangling, ini Lara bukan yah?.
Mas Arlan yang pertama kali
menyadari, “Kamu cantik kalau begini?”, dengan nada kagum yang tulus.
“Cowok dimana mana sama yah mas?,
baru menyadari kalau kita benar benar “perempuan” ketika kita
bermetamorfosa..”, dengan nada sinis entah pada siapa...mungkin kepada Dion..
“Bukan begitu Ra, mas menghargai
perubahanmu, tapi itu harus sesuatu yang membuatmu nyaman..jadilah dirimu
sendiri..!”, mas Arlan kembali mencoba bijak. Gadis ini masih sangat labil,
maklum baru lulus SMU dan sedang “patah hati”.
Lara kembali memeluk mas Arlan,
tetapi kali ini mas Arlan menghindar...
“Kenapa mas?”, heran
“Jangan..kalau kita terlalu
dekat, lama lama mas bisa jatuh cinta sama kamu..”, mas Arlan mencoba
mengingatkan.
“Kenapa mas, kalau kita saling
jatuh cinta?, sudah dewasa kan?”, kalimat itu seolah memberikan peluang, tetapi
sebagai seseorang yang sudah dewasa dan berpengalaman, mas Arlan cukup tahu itu
hanyalah kalimat seorang anak gadis remaja yang sedang labil dan
gundah...GALAU..istilah anak zaman sekarang.
“Kamu hanya sedang bingung,
“mencium kening gadis itu, namun entah mengapa mulai ada getaran aneh
dihatinya. Karena Lara-kah?, gadis ingusan itu?.
“Mas...”, Lara kembali memeluk
mas Arlan, lelaki itu tak sanggup melawan perasaannya, mulai ada sesuatu
yang tumbuh dihatinya. Rasanya tidak
ingin melepaskan pelukan Lara...
“Mungkin aku jatuh cinta dengan
mas Arlan..”, Gadis itu selalu jujur dengan perasaannya.
Mas Arlan hanya mengecup
keningnya sebelum akhirnya mengangguk
“Mas juga...!”
Hari harinya tidak lagi sepi,
mulai sedikit demi sedikit bayangan Dion terkikis habis, yang ada hanyalah hari
penuh warna dengan mas Arlan, pemuda berusia 28 tahun yang sangat bijak dan
romantis.
Lara dan mas Arlan, bergandengan
tangan usai menonton premiere sebuah film yang lagi booming, tanpa sengaja
matanya tertuju pada sesosok yang sangat dia kenal..D-I-O-N, mengusap matanya
berkali kali sekedar meyakinkan semoga itu bukanlah sekedar mimpi, Dion tidak
dengan bu Ning, cewek lain, masih dengan selera yang sama..cantik dan seksi,
cewek mana lagi yang berhasil dikibuli maestro itu?.
Selera menontonnya mendadak
hilang “Mas, kepalaku sakit, kita pulang yuk..!!”, mas Arlan hanya mengangguk
tanpa ekspresi, ada sesuatu yang hilang diwajah itu..entah apa, Lara tidak
sempat menyadari, rasa muaknya terhadap Dion terlalu mendominasi...
Mas Arlan hanya mengantar hingga
didepan pintu, lalu pulang dengan lebih diam dari biasanya. Lara menghembuskan
nafas panjang, sambil menutup pintu..Dion..ternyata laki laki itu begitu kuat
magnetnya dihati Lara, rasanya tak sanggup melihat kemesraannya dengan gadis
tadi, gadis yang keberapa yah dia setelah putus dari Vio?, dan..mengapa tak
pernah sekalipun memilih Lara?, tidak masuk kualifikasi kah dirinya?, terlalu
Dion...
Bel berbunyi “,Ada yang
kelupaan...ma..s??”, nadanya terbata saat melihat sosok yang tiba tiba muncul
dihadapannya, Lara mengira mas Arlan yang kembali mengetuk pintu dan memencet
bel. Wajahnya tampak pucat seperti mayat hidup...
Lara terdorong oleh rasa
emosinya, cukup sudah laki laki ini mempermainkan emosinya, tidak akan
lagi...tidak akan pernah lagi Dion berhasil...Dion menjerit, tangannya terjepit
dipintu..
“Ra..”, suara itu terdengar
begitu memohon.
Lara berusaha tegar, namun tak
sanggup, pertahanannya runtuh juga.
“Ada apa..”, nadanya sangat
dingin
“Ra, kasih aku kesempatan, jangan
pergi Lara..”, Dion, bukan sosok gagah yang biasa Lara kenal.”
“Maksudnya apa nih?”
“Aku sayang kamu Ra, aku nggak
rela melihat kamu dekat sama Arlan..”, Dion terbata bata mengakui perasaannya.
“Dulu kamu kemana?, membiarkan
aku mengemis, pergi ke Singapura ngga bilang bilang, siapa kamu seenaknya
mempermainkan perasaanku, gadis mana yang bikin kamu patah hati, mentang
mentang aku yang jatuh cinta duluan...”, Ah...gadis itu tidak berhasil untuk
tidak cengeng..
“Ra, satu satu dong....lagian
kata siapa kamu yang jatuh cinta duluan?”, Dion mulai berani jujur
“Maksudnya apa, maksudnya apa
ngomong begitu..!”, galaknya Lara mulai keluar, kembali ke Lara yang biasa Dion
kenal sebelumnya..
Dion menjitak kepala Lara pelan..
“Dengan nona yang centil, kamu
lupa yah, kamu orangnya sangat ekspresif, gampang dan berani menyatakan rasa suka pada orang, ingat gak
waktu dulu sama ketua OSIS, suka dikit aja kamu ngomong sama dia, kamu bilang
sayang, padahal kamu tau dulu gimana perhatiannya aku sama kamu, nah aku tidak
mau kejadian yang sama terulang lagi, asal tau dulu aku jatuh cintanya sama
kamu, tapi kamu lebih milih ketua OSIS, akhirnya aku dekati Vio, sampai aku
berhasil jatuh cinta padanya..”Jelas Dion panjang lebar.
“Terus, ke Singapura tidak
pamit?”, Lara masih penasaran.
“Aku tidak ke Singapura Lara. Aku
masih tetap di Jakarta, mengikuti perkembanganmu, aku sengaja ngekost biar
leluasa mengawasimu dari jauh, kamu kira siapa yang merekomendasikan bu Ning
jadi guru privatmu?, siapa yang memasukkanmu jadi script writer di radio?, aku
hanya ingin melihat gadisku tangguh..”, mengusap kepala Lara, hati Lara
bergetar.
“Gadisku?, maksudmu..??” Lara
mencoba memastikan
“Kamu tau maksudku, nggak usah
pura pura nggak tahu..”,
“Iya, tapiiii....”, Lara masih
bingung
“Sudahlah, kalau mau diceritain
panjang, nggak asyik, gimana kalau diceritain sambil pacaran?”, Dion mengerling
nakal. Lara mencubit pinggang Dion pelan.
“Tapi, jujur sebenarnya aku masih
ingin melanjutkan permainan ini kalau saja mas Arlan tidak muncul dalam
kehidupanmu, sumpah...demi Tuhan dia ngga masuk dalam daftar skenarioku,
akhirnya pelan pelan aku mengadakan pendekatan dan dia ngerti, walau sedikit
berat hati..”, Dion tampak serius.
“Tega kamu...gimana dengan
perasaannya?”,
“Tenang saja, dia sudah ku plot
untuk dekat dengan bu Ning, mereka pasti cocok, bu Ning jauh lebih cantik dari
kamu, nggak mungkin dia nolak...!”, Dion ngakak
Lara mencubit pinggang Dion
sekali lagi, Dion menangkap tangan Lara.
“Masih belum berubah yah, masih
suka nyubit...daripada dicubit, gimana kalau dipeluk aja..”, Dion memeluk Lara,
Lara masih bengong. Merasa ini masih sebuah mimpi..
“Ini nggak mimpi kan?”, Lara,
diantara gemuruh kebahagiaannya.
“Nggak dong, mau dicubit?”, Dion
berkelakar, Lara mencoba mencubit tapi tidak berhasil. Kali ini Dion memeluknya
erat, mencium kening Lara.